Samarinda, Kaltimnow.id – Konflik agraria di Kabupaten Kutai Timur kembali mencuat ke permukaan setelah putusan pengadilan yang memenangkan Koperasi Dema Sinar Mentari (DSM) memicu kekecewaan dari Kelompok Tani Busang Dengen.
Yudi Adrian Nugaha, kuasa hukum kelompok tani tersebut, menyatakan bahwa keputusan yang dikeluarkan pada 5 Februari 2025 lalu diduga sarat dengan kejanggalan hukum.
Yudi menegaskan bahwa klaim kepemilikan lahan oleh Koperasi DSM tidak didukung oleh bukti sah.
“Mereka tidak bisa menunjukkan dokumen resmi yang membuktikan kepemilikan lahan tersebut,” tegas Yudi.
Ia juga menyayangkan sikap hakim yang mengabaikan bukti kuat yang diajukan oleh pihaknya, termasuk surat legalitas dan dokumen kepemilikan yang valid.
Salah satu poin keberatan utama adalah kelalaian hakim dalam mempertimbangkan kesalahan administratif pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).
“Kesalahan administratif ini seharusnya menjadi perhatian utama karena berdampak pada keabsahan klaim lahan,” tambahnya.
Kasus ini juga melibatkan dugaan kejanggalan hibah lahan yang diterima Koperasi DSM dari pemerintah desa. Yudi menilai proses hibah tersebut melanggar regulasi yang berlaku, baik dalam Undang-Undang Agraria maupun peraturan desa.
Hingga saat ini, permintaan klarifikasi dari pihak Kelompok Tani Busang Dengen belum mendapatkan tanggapan memadai dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Kemasi Liu, Ketua Kelompok Tani Busang Dengen, mengungkapkan kekecewaannya atas perubahan status kelompok tani menjadi koperasi tanpa persetujuan anggota.
“Kami merasa dirugikan karena kepala desa terlibat dalam penerbitan surat yang seolah-olah melegitimasi penjualan lahan kami kepada perusahaan tambang,” ujarnya.
Anggota kelompok tani lainnya, Ijam Aing, juga menyuarakan kerugian besar yang dialami petani akibat keputusan ini. Mereka berharap pihak berwenang memberikan perhatian serius demi melindungi hak-hak petani kecil.
Yudi memastikan pihaknya akan mengajukan banding untuk membatalkan putusan tersebut.
“Kami berharap keputusan di tingkat banding akan lebih berpihak pada keadilan bagi para petani,” pungkasnya.
Kelompok Tani Busang Dengen telah berjuang sejak 2008 untuk memberdayakan petani lokal. Konflik pertama muncul pada 2009 saat perusahaan HPT menguasai 224 hektare lahan mereka tanpa persetujuan. Setelah melalui mediasi panjang, pada 2013, lahan tersebut akhirnya dikembalikan kepada kelompok tani.
Namun, masalah kembali muncul pada 2020 ketika lahan tersebut diklaim telah beralih menjadi aset koperasi tanpa sepengetahuan anggota kelompok tani.
Kemasi Liu bahkan dituduh mencuri hasil panen dari lahan yang secara hukum masih menjadi miliknya.
“Ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata. Kami memiliki legalitas lahan ini, tapi malah dianggap mencuri di tanah sendiri,” katanya.
Yudi mengungkapkan bahwa perubahan status kelompok menjadi Koperasi DSM dilakukan secara sepihak oleh sejumlah anggota tanpa melibatkan Kemasi Liu selaku Ketua Umum sah. Tanpa adanya bukti sah terkait peralihan hak atas lahan, kelompok tani menegaskan bahwa mereka menjadi korban pengambilalihan paksa.
“Kami berharap aparat penegak hukum dapat memberi perhatian serius agar hak-hak petani tetap terjaga dan keadilan benar-benar ditegakkan,” tutup Yudi. (dot)