Samarinda, Kaltimnow.id – 21 Januari 2021 bertepatan bersama dengan Hut Pemerintah Kota Samarinda berusia 61 tahun dan Hut Kota Samarinda berusia 353 tahun.
Penetapan tanggal berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No 1 tahun 1988, sebagai tonggak awal kelahiran Samarinda. Hal ini merujuk kepada hasil prediksi tanggal kedatangan rombongan Bugis Wajo, yang pertama kali di Muara Sungai Karang Mumus pada 21 Januari 1668.
Kota Samarinda sebelum sebelum kedarabgab para perantau dari daerah Jawa dan Sulawesi, sudag memiliki sejarahnya sendiri. Hal tersebut merujuk kepada manuskrip (naskah) “Salsilah Raja Kutai Kartanegara (Kukar)” yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir, sebagai juru tulis di Kesultanan Kukar.
Adapun manuskrip itu bertuliskan Aksara Jawa (Arab-Melayu) dan diselesaikan tepat pada tanggal 30 Rabiul Awal 1265 H (24/2/1849). Dalam naskah tersebut, dijelaskan untuk wilayah Samarinda pada abad ke-13 Masehi sudah memiliki perkampungan.
Constantinus Alting Mees salah satu penulis, turut mengutip manuskrip tersebut kedalam bukunya yang ia Terjemahkan kedalam bahasa Aksara Latin dengan judul “De Kroniek van Koetai” cetakan Belanda.
Di dalam buku tersebut, Cintantinus Alting Mees turut menceritakan ada enam wilayah yang telah dihuni oleh masyarakat Samarinda, diantaranya Pulau Atas, Karang Asam, Karamumus (Karang Mumus), Luah Bakung (Loa Bakung), Sembuyutan (Sambutan), dan Mangkupelas (mangku palas).
“Beradatanganlah orang oendangan jang tiga belas benoea itoe masing-masing maka soembalah orang-orang Poelau Atas dan orang Karang Asam dan orang Karamoemoes dan orang Loeah Bakoeng dan orang Semboejoetan dan orang Mangkoepelas itoelah banjaknja orang jang datang,” tertulis di De Kroenik van Koetai Tekstuitgave met Toelichting.
Tidak disebutkan secara jelas, suku apa saja yang menempati keenam kampung tersebut. Namun, interpretasi yang paling masuk akal, merujuk kepada letak geografis dengan wilayah Kutai Lama serta dari arah hulu terdapat Kerajaan Kutai Martapura. Ini bisa dipastikan suku yang mendiami Samarinda awalnya adalah suku Melanti (Kutai Kuno) dan bukan berasal dari suku Bugis. Pasalnya, ketika Bugis Wajondatang ke daerah Samarinda Seberang, pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18.
Dalam penetapan Hut Kota Samarinda yang jatuh oada tanggal 21 Januari, ada lima versi yang berbeda. Dari Tim penyusun Sejarah Kota Samarinda versi 1987 mengadakan seminar dengan H. Dachlansjahrani, BBA sebagai penyaji Makalah, pada tanggal 21 Agustus 1987. Dari seminar tersebut ditetapkan 21 januari 1668 sebagai tonggak awal peristiwa kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona di wilayah Kerajaan Kukar. Dan akhirnya pada tanggal tersebut diperingati sebagai hari jadi Kota Samarinda hingga sekarang.
Latar belakang Hijrahnya rombongan Bugis Wajo dari tanah Kesultanan Gowa (Sulawesei Selatan) dikarenakan penolakan perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah dalam peperangan melawan Pasukan Belanda.
Penetapan tanggal 21 januari 1668 adalah salah satu rujukan yang dipilih pemerintah, namun sebenarnya ada lima versi berbeda tentang kedatangan suku Bugis Wajo ke tanah Kutai yang telah dijelaskan oleh Muhammad Sarip pada bukunya yang berjudul “Samarinda Tempo Doeloe sejarah lokal 1200-1999”.
Kelima versi tersebut yakni, pertama dari versi tim Penyusun Sejarah Samarinda 1987. Kedua, versi catatan Kesultanan Kukar. Ketiga, versi tim penyusun Sejarah Kota Samarinda 1986. Keempat, versi Kutipan C.A. Mees, dan terakhir versi peneliti S. W. Tromp.
Dari kelima versi tersebut, terlihat banyak sekali perbedaan pendapat tentang kapan pastinya kedatangan Bugis Wajo tiba di tanah Kutai.
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 tersebut sebenarnya bukan bedarsarkan sebuah catatan tertulis ataupun informasi akurat, melainkan hasil prediksi dan perkiraan Tim peneliti 1987, dengan memperkirakan waktu pelayaran rombongan Bugis Wajo dari Sulawesi ke Kalimantan Timur (Kaltim). Hal itu berdasarkan, perhitungan sejak penandatanganan perjanjian Bongaya (18/11/1667), dan tim penyusun sejarah sepakat bahwa perkiraan waktu berlayar menuju ke Kerajaan Kukar kurang lebih 64 hari.
Dari hasil perkiraan waktu berlayar tersebut, kemudian di tambahkan dengan peristiwa Bongaya, diperolehlah tanggal 21 Januari 1668.
“Selama 64 hari itu, diperhitungkan sejak keberangkatan rombongan La Mohang Daeng Mangkona dari Somba Opu dan Wajo menggunakan 18 buah perahu kecil. Mereka menyeberangi Selat Makassar yang menggunakan tenaga manusia, sehingga waktu tempuh perjalanan dari Somba Opu/Wajo ke Kutai. Dalam perjalanannya dipastikan menyinggahi beberapa tempat untuk menambah perbekalan makanan dan minuman, diantaranya Tanah Pasir dan menyusuri pantai hingga tiba di Muara Sungai Mahakam di Kota Jaitan Layar,” dari tim penyusun “Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda” (1987).
Penetapan Tanggal tersebut mendapat legitimasi politis dari Pemerintah Kota Samarinda yang saat itu dipimpin oleh Drs. H. Andi Waris Husain,
“Hari jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668, bertepatan dengan tanggal 5 Sya’ban 1078 Hijriyah,” Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda. Nomor 1 tahun 1988 pasal 1.
Walaupun ada perbandingan antara teori tentang pendiri Kota Samarinda, konteksnya terbatas dalam ruang lingkup dan studi ilmiah. Hal ini juga dilatar belakangi kenyataan bahwa sebagai sebuah teori buatan manusia, tidak ada yang secara mutlak diklaim sebagai kebenaran. Penulis sejarah juga harus dinamis agar revisi terus berjalan seiring terungkapnya sebuah kenyataan.
“Sudah sewajarnya sejarah Samarinda ditelaah serta direkontruksi dengan metode historiografi,” kutip Muhammad Sarip.
Reverensi : Samarinda Tempo Doloe sejarah lokal 1200-1999 – Muhammad Sarip. (yue/ant)