Kontroversi Konsumsi Kental Manis, Ancaman Terhadap Kesehatan Anak

Jakarta, Kaltimnow.id – Di tengah kampanye penting tentang ASI eksklusif untuk mencegah stunting, konsumsi kental manis oleh balita dan anak di bawah 1 tahun terus menjadi perhatian.

Penyebabnya adalah label pada produk kental manis yang kembali menyertakan kata ‘susu’ meskipun BPOM telah melarangnya melalui PerBPOM no 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Bidang Pemberdayaan Kesehatan Perempuan dan Anak Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), Rusli Rusmarni, mengungkapkan kekhawatirannya akan lemahnya pengawasan BPOM terhadap implementasi aturan yang dikeluarkan. Ini terlihat dari kemasan salah satu merek kental manis yang kembali menggunakan kata ‘susu’.

“Berdasarkan peraturan BPOM, seharusnya produk kental manis ini pada kemasannya ditulis krimer. Tapi sekarang kita bisa lihat kembali ada kata susunya. Ini memang BPOM yang lalai, atau publik yang telah kecolongan peraturan BPOM tiba-tiba berubah?,” ujar Ketua DPD Repdem Banten ini sambil menunjukkan kemasan sachet produk kental manis berwarna biru, saat ditemui media media bulan Desember ini.

Sebagaimana diketahui, Kategori Pangan tahun 2023 menyebutkan produk bisa disebut susu kental manis apabila memiliki kadar protein tidak kurang dari 6,5 persen.

“Sementara ini kandungan proteinnya sangat jauh di bawah itu, dan sekarang kembali menyertakan kata susu pada label kemasannya,” ujarnya.

“Inilah yang membuat masyarakat kita akan tetap beranggapan produk ini dapat dikasih buat anak. Kenyataannya, bukan satu dua kali konsumsi kental manis beresiko buat anak, ada Kenzie yang obesitas, lalu sebelumnya Vania yang kulitnya melepuh dan gizi buruk akibat minum kental manis di usia dini, bahkan ada yang meninggal,” papar Rusmarni.

Lebih lanjut, Rusmarni menekankan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap label dan konsumsi kental manis ini dapat berdampak buruk di masa mendatang.

“Kiat setiap hari ngomongin stunting dan gizi buruk, kampanye ASI eksklusif untuk mencegah stunting hanya menempatkan ibu sebagai pihak yang tidak berjuang memberikan ASI kepada anak, sementara pemerintah membiarkan produk dengan kandungan gula tinggi dikonsumsi sebagai minuman susu oleh masyarakat dan anak-anak,” tukas Rusmarni.

Sebelumnya, dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc, Sp.A., dokter anak dari RS Mayapada, juga menyoroti sulitnya mengubah kebiasaan konsumsi kental manis di masyarakat. Ia menyayangkan penyebaran informasi tanpa filter di media sosial yang turut memperburuk masalah ini.

“Di TikTok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum satu bulan. Hal seperti ini bisa saja terjadi di banyak tempat, dan tontonan seperti ini dapat ditiru oleh ibu-ibu lain karena pada dasarnya pengetahuan mereka tentang gizi cukup rendah,” ujar dokter yang juga aktif memberikan edukasi di sosial media.

Permasalahan konsumsi kental manis sepertinya tidak menjadi prioritas pemerintah. Hal ini diakui oleh Maria Gayatri, Penata Kependudukan dan KB dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

“Kental manis jarang dibahas di BKKBN, nanti akan disampaikan ke pimpinan,” ungkap Maria.

Memerangi Stunting

Guna memerangi stunting, pemerintah melalui BKKBN mempromosikan pemberian ASI eksklusif oleh ibu sebagai langkah efektif. Pada 2021, Presiden RI Joko Widodo memerintahkan BKKBN mengkoordinasikan program penurunan stunting di Indonesia.

“Ujung-ujungnya, yang salah tetap ibu, bahwa ibu kurang berusaha memberikan ASI untuk anak, bahwa ibu males kasih ASI untuk anak, jadi bebannya tetap ada di masyarakat,” tegas Yuli Supriati, Ketua tim Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI).

Kritik juga dilontarkan oleh Yuli terhadap fokus pemerintah yang lebih pada penurunan konsumsi susu formula, sementara konsumsi kental manis yang memiliki risiko serupa kurang mendapat perhatian.

“Tidak sedikit ibu juga menjadi tulang punggung keluarga, dimana mereka juga tergolong ekonomi bawah. Nah kelompok ini, karena harus meninggalkan anak saat bekerja, ASI tidak lagi cukup karena sudah kelelahan, akhirnya larinya ke kental manis, karena harganya lebih ekonomis. Sementara, fokus perhatian pemerintah malah memerangi susu formula. Salah sasaran,” tegas Yuli.

Edukasi yang tepat kepada orang tua dan masyarakat umum mengenai bahaya konsumsi kental manis pada anak-anak sangat penting.

“Setiap pembahasan stunting, yang lebih banyak ditonjolkan adalah pemberian susu formula pada anak. Padahal, jika dilihat dari fungsinya, susu formula jelas peruntukannya memang untuk minuman anak atau keluarga. Sementara kental manis, produk yang peruntukannya bukan untuk minuman, tapi terjadi pembiaran saat produk ini dikonsumsi sebagai minuman susu oleh anak dan bayi,” pungkas Yuli.

Penulis: Cintia Rahmadani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *