Samarinda, Kaltimnow.id – Sejak 74 tahun silam atau lebih tepatnya pada hari Minggu 27 Januari 1947, rakyat Sanga-sanga berhasil merebut Tangsi Belanda. Kemudian masayrakat setempat menyebutnya dengan “Peristiwa Merah Putih”.
Sejak penemuan sumber minyak pada 1897 di Sanga-sanga dan berevolusi menjadi kota industri. Belanda pun banyak membangun dermaga dan bangsal-bangsal di kawasan selatan wilayah Kesultanan Kutai, yang masih banyak berdiri hingga sekarang.
Menurut catatan pada 1939, Sanga-sanga telah memiliki tujuh dermaga, 613 lubang sumur, dengan produksi 70 ribu ton minyak perbulannya.
Aksi pembebasan Kota Sanga-sanga dimulai dari para Barisan Pejuang Republik Indonesia (BPRI) yang dipimpin oleh Soeskasmo, Asmuransyah, Fathamsyah, H.Abdullah Tomas, dan lain-lain. Tentara Indonesia yang berada di dalam Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL), yang di pimpin oleh Boediojo alias Boediono pun disadarkan untuk turut serta berjuang dipihak RI. Boediono akhirnya setuju dengan ajakan Soeskasmo dan kawan-kawannya. Namun mereka tetap bertugas di militer Belanda sebagai taktik gerakan hingga saat pecahnya pertempuran nanti.
Pada pertengahan Januari 1947 rombongan griliawan dari Balikpapan, yang di pimpin oleh mantan polisi Belanda, Herman Runturambi bersama dengan pasukanya memasuki Sanga-sanga dan berkoordinasi dengan pimpinan BPRI Sanga-sanga. Herman diminta bersembunyi di suatu ladang di tengah hutan yang juga sebagai tempat persembunyiannya, kemudian seorang prajurit bernama Sutjipto yang menyimpan dokumen rahasia perjuangan.
Aktivitas Herman diketahui oleh mata-mata Belanda dan persembunyian Sutjipto akhirnya terbongkar, dan Sutjipto dihabisi serta dokumen yang dipegangnya jatuh ketangan Belanda. Mengingat rencana penyerangan sudah diketahui oleh pihak Belanda, maka segera pada 26 Januari 1947 dimulai penggempuran tempat perusahaan vital Belanda BPM (Battaafshe Petroleum Mastscappij) Sanga-sanga yang dilakukan Soekasmo dari BPRI dan Boediono dari kelompok tentara KNIL yang berpihak kepada para pejuang rakyat.
Pergerakan tersebut dimulai sekitar pukul 04.30 WITA dengan menyerbu Tangsi Belanda. Dalam waktu singkat seluruh kekuatan dan tangsi dapat direbut oleh pejuang RI. Tentara KNIL dan pegawai BPM yang tidak mendukung perjuangan ditawan. Sekitar pukul 06.00 WITA, bendera Belanda di kantor Douane Muara Sanga-sanga diturunkan. Bagian kain biru dirobek lalu kain Merah-Putih yang tersisa dikibarkan kembali.
Selama tiga jam situasi aman kemudian berubah menjadi tembak-menambak antara kedua kubu ketika polisi Belanda tiba di Muara Sanga-sanga dengan kapal Zaza. Satu jam kemudian Belanda mengundurkan diri. Bendera Merah-Putih dapat berkibar di Sanga-sanga selama tiga hari sejak 27 Januari 1947.
Tepat tanggal 28 Januari 1947 sekitar pukul 08.00 WITA, Belanda dengan kekuatan gabungan menyerang kembali. Pertempuranpun tidak bisa terhindarkan, dan berlangsung hingga malam hari. Pejuang yang bertahan di Louis dan Tanjung Priuk dengan jarak enak Km dari posisi Belanda di Muara Gudang.
Keesokan harinya, Kapal Fregat Zeearend berlabuh di Sanga-sanga dengan berbendera Merah-Putih. Rakyat dan pejuang banyak yang menyambut dan tidak menyangka bantuan dari pejuang Balikpapan datang. Namun itu adalah salah satu taktik Belanda untuk mengelabui para pejuang. Banyak dari rakyat Sanga-sanga yang gugur akibat tembakan dari kapal tersebut. Kepal pemburu Semeru disertai dua landing craft bekal milik Jepang mendaratkan pasukan di Muara Sangaasanga. Pertempuran sengit berlangsung sekitar delapan jam. Sebanyak 350 tentara Belanda dengan senjata baru melawan sekitar 200 pejuang dengan senjata minim.
Tanggal 29 Januari 1947 sekitar pukul 18.00 WITA pertempuran berakhir dan Sanga-sanga jatuh kembali ketangan NICA. Pejuang yang tersisa berlari ke hutan menjauhi Sanga-sanga, Belanda pun juga memperketat pengamanan sehingga konsolidasi antar pejuang Sanga-sanga, Samarinda, dan Tenggarong tidak terjalin.
Situasi Sanga-sanga pada bulan Februari 1947 diliputi susana mencekam dengan maraknya pembantaian rakyat yang dituduh oleh tentara KNIL dan Polisi Belanda sebagai ekstrimis dan pembantu para ekstrimis. Sementara itu Boediono dan eks KNIL yang memimpin perjuangan Sanga-sanga tetap bertahan di Sanga-sanga dan tidak mau mundur. Sehingga ia ditangkap oleh Belanda dan mulai mengintrogasi hingga mengeksekusi dengan siksaan berat. Setelah penyelidikan tidak diperlukan lagi, Boediono pun dieksekusi mati dengan ditembak, pada 17 Maret 1947.
Sumber: (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara – Muhammad Sarip). (yue/ant).