Samarinda, Kaltimnow.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Deteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak, pada 7 Desember 2020 lalu.
Diumumkan Minggu, (3/1/2021), Peraturan disebut akan memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat.
Namun, disahkannya PP tersebut juga menimbulkan pro dan kontra. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MaPPI), Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan bahwa PP tersebut mengabaikan hak asasi pelaku dan belum terbukti efektif dalam menekan angka kekerasan seksual.
Ketua ICJR Erasmus A.T Napitupulu, menilai bahwa aturan perlindungan korban lebih penting daripada PP ini. Sebab, pemerintah belum memiliki peraturan komperhensif terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
“Aturan pemulihan korban kekerasan seksual tersebar dan berbeda-berbeda. Perlu ada satu UU baru yang dapat merangkum dan menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban (RP2K) atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS),” ucapnya seperti yang dilansir Narasi Newsroom, 4 Januari 2021.
Menanggapi polemik tersebut, anggota DPRD Provinsi Kaltim Verdiana Huraq Huang menganggap bahwa upaya pemerintah pusat terhadap hal tersebut sudah benar.
Bagi perempuan yang akrab dipanggil Veri tersebut, sudah saatnya pelaku kekerasan seksual perlu ditindak secara keras untuk mmemberikan efek jera. Pendapat bahwa PP tersebut dirasa bagi sebagian orang tidak humanis menurutnya berbanding terbalik terhadap tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang dinilainya tidak berkemanusiaan.
“Kalau melihat yang mereka lakukan kepada anak kan sudah tidak manusiawi sekali, kalau mereka (pelaku) kan enak aja saat melakukan, tapi korbannya menanggung penderitaan yang luar biasa,” ucap Veri saat diwawancarai lewat telepon, Rabu (06/01/2021).
Senada dengan Veri, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Ely Hartati Rasyid mengatakan bahwa PP tersebut harus disahkan mengingat urgensi meningkatnya kondisi kekerasan seksual di Indonesia.
Akar kekerasan seksual menurutnya, tidak hanya berasal dari minimnya kepastian perlindungan hukum bagi korban, namun dari banyak aspek.
Salah satunya menurut Elly, adalah fungsi keluarga sebagai benteng terdepan yang bertanggung jawab atas kemananan dan edukasi anak.
“Kita (DPRD) lagi berencana menginisiasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) ketahanan keluarga, ini sangat penting (sebagai dasar) seberapa jauh intervensi pemerintah ke dlm keluarga,” pungkas Politisi PDI Perjuangan tersebut.
Diketahui, PP Nomor 70 Tahun 2020 tersebut juga mengatur mengenai pemasangan chip atau alat pelacak bagi pelaku kekerasan seksual kepada anak.
Peraturan turunan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perlindungan anak tersebut juga mengatur pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan setelah pelaku selesai menjalani pidana pokok. (mel)