Samarinda, Kaltimnow.id – Berdasarkan data Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, angka perkawinan anak di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menunjukkan angka yang fluktuatif, yakni di tahun 2018 sebanyak 953 anak, tahun 2019 sebanyak 845 anak dan tahun 2020 meningkat kembali sebanyak 1159 anak. Namun ditahun 2021, angka perkawinan ada sedikit mengalami penurunan yakni 70 anak, sehingga totalnya menjadi 1089 anak.
“Meski demikian, jauh sebelum pandemi, perkawinan anak memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia,” kata Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita, pada kegiatan Sosialisasi Peran Pengasuhan Anak dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Kalimantan Timur tahun 2022, berlangsung di Hotel Ibis Samarinda, pada Selasa (01/03/2022).
Sementara, berdasarkan data perkawinan anak yang dihimpun Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag), di tahun 2019, ada sebanyak 23.126 permohonan dispensasi kawin dan semakin meningkat di tahun 2020. Dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2020, permohonan dispensasi yang masuk sebanyak 34.413 perkara, sebanyak 33.664 diantaranya dikabulkan oleh pengadilan.
Maraknya perkawinan anak, lanjut Soraya, menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke 2 di ASEAN dan ke 8 dunia untuk kasus perkawinan anak di tahun 2018.
Perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat sejak lama yang mendukung atau menormalisasi perkawinan anak, seperti perspektif agama yang berpandangan bahwa menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina.
Selain itu, perspektif keluarga yang berpandangan bahwa perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun sehingga tidak menjadi masalah jika hal serupa tetap dilakukan dan perspektif komunitas yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan yang tinggi. Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak direstui dan difasilitasi oleh orang tua, keluarga dan masyarakat.
Pemerintah telah banyak berupaya untuk mencegah perkawinan anak terjadi, diantaranya mengubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui UU Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan anak telah menjadi prioritas kebijakan pembangunan nasional di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020 – 2024).
Selanjutnya dalam Sustainable Development Goals (SDGs), pencegahan perkawinan anak masuk ke dalam tujuan ke 5 mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
“Kemudian, dalam Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024 dan 6,9 persen pada tahun 2030,” imbuh Soraya.
Soraya melanjutkan, dalam upaya perlindungan anak, selain upaya kuratif juga diperlukan preventif dan promotif agar meminimalisir terjadinya kasus perkawinan anak.
“Keluarga atau orang tua merupakan garda terdepan yang berperan dalam mengasuh, mendidik dan membentuk karakter anak. Pengasuhan anak oleh orangtua merupakan salah satu kunci penting dalam sebuah keluarga yang akan menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak,” ungkapnya.
Ia berharap melalui kelembagaan Puspaga meningkatkan peran pengasuhan keluarga, meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera dan pemenuhan hak anak. (adv/kmf/cintia)