Samarinda, Kaltimnow.id – Empat Warga Samarinda menggugat Ketua PTUN Samarinda, terkait dugaan diskriminasi yang dilakukan oleh pihak PTUN terhadap laporan warga yang menggugat Presiden Republik Indonesia (RI) Ir Jokowi Dodo.
Sebelumnya diketahui, perkara itu bemula dari seorang warga Achmad Ar Bin Musa yang mengaku merasa dikriminalisasi oleh dua orang pebisnis tanah.
Diungkapnya, secara sistimatis dan terencana melibatkan oknum BPN dan Penegak hukum untuk merebut Tanah milik Achmad Ar bin Musa yang kebetulan telah beralih hak ke atas nama salah satu Penggugat bernama Lisia, sehingga Lisia bersama suaminya Hanry Sulistio dan para saksi tersebut melayangkan gugatan kepada semua oknum yang terlibat.
Hal itu terjadi lantaran laporan polisi mereka berdasarkan Pasal 108 ayat 1 dan 2 KUHAP tidak diindahkan sejak tahun 2017 yang terdaftar dengan Nomor 142/Pdt.G/2020/PN Smr (persidangan sedang berlangsung).
Namun pihak Lisia merasa aneh, lantaran salah satu pihak polisi yang terdiri dari 12 orang tergugat justru dilindungi Institusi kepolisian RI yang diberi ijin oleh Ketua Pengadilan Negeri Samarinda dengan mengabaikan Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung.
Saat ini diketahui, gugatan enam warga Samarinda yang di tujukan pada Presiden Republik Indonesia (RI) pada 28 Januari silam dinyatakan tidak diterima oleh Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda.
Dari ke enam warga itu yang saat ini masih konsisten melakukan pelaporan sebanyak empat warga, kini kembali menggugat Presiden, meskipun gugatan pertaman dengan nomor 3/G/TF/2021/PTUN.SMD di tolak oleh PTUN. Tak tanggung-tanggung, kali ini ke empat warga Samarinda itu juga menggugat Ketua PTUN Samarinda, dengan menjadi tergugat 6 dalam perkara bernomor 11/G/TF/2021/PTUN.SMD.
Dalam wawancaranya bersama awak media, salah satu juru bicara mengatakan alasan Ketua PTUN digugat lantaran gugatan warga yang di layangkan untuk Presiden di mendimisalkan.
“Gugatan pertama itu di mendimisalkan, dengan cara melanggar hukum, artinya menyamakan makna Frasa Sengketa Tindakan Pemerintahan yang pengertiannya timbul dari sengketa administrasi dengan makna Frasa Perbuatan melawan hukum dan pengertiannya mengandung tindakan tidak sah, dimana kedua pengertian ini telah didifinisikan secara terpisah dalam pasal ayat yang berbeda beda. Bagaimana bisa menjadi sama” kata Rahim, pada Kamis (01/04/2021)
Rahim dalam pengakuannya, menyayangkan atas tindakan kepala PTUN Samarinda terhadap gugatan mereka untuk Presiden.
“Kalau pasal ayat nya berbeda-beda kemudian pengertiannya disamakan guna mendimisalkan gugatan kami dengan menyatakan gugatan tidak diterima, apa artinya ini? silahkan simpulkan sendiri dan lihat isi surat gugatan kami, yang jelas kami merasa kecerdasan kami di hina, itu sebabnya kami gugat Ketua PTUN sebagai Tergugat 6 satu paket dengan Tergugat 1 yaitu Presiden RI untuk kedua kalinya dengan nomor perkara 11/G/TF/2021/PTUN.SMD,” tambah Rahim.
Salah satu Peggugat Faizal Amri Darmawan berharap agar gugatan dapat segera masuk pokok perkara. Hal itu disebut agar dapat segera diuji hukum materil
“Kami berharap ini segera masuk pada pokok perkara, biar nangti cepat diuji hukum materilnya, bukan malah dihadang dengan hukum formil dengan cara melawan hukum, dimana wibawa hukum kelak dimata masyarakat” ungkapnya.
Meski begitu, para Penggugat itu mengaku cemas, bahkan merasa terintimidasi, hingga sering merasa ketakutan dan terkada diperlakukan seperti terdiskriminasi oleh pemerintah RI karena tindakan mereka berdasrkan Pasal 108 ayat 1 dan 2 KUHAP tidak didukung Pemerintah sebaliknya justru mendapatkan perlawanan secara melanggar hukum, tutup para Pengugat Presiden RI berdasarkan tulisan gugatan PMH Nomor 11/G/TF/2021/PTUN.SMD.
Dijelaskan Abdul Rahim kepada tim dari perwakilan warga, gugatan nomor 11/G/TF/2021/PTUN.SMD kembali ditetapkan Dismisal pada tanggal 31 maret 2021, sehingga pihaknya melakukan layangan surat kepada Ketua Mahkamah Agung RI untuk mengajukan hak ingkar kepada Majelis Hakim yang telah mengeluarkan keputusan Dimisal atau Ketua PTUN Samarinda.
“Kami layangkan surat kepada Ketua Mahkamah Agung RI untuk mengajukan hak ingkar kepada Majelis Hakim yang mengeluarkan keputusan Dismisal tersebut yang tidak lain tidak bukan adalah Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda bernama bapak Edi Firmasyah SH MH,” terang Abdul.
Abdul mengatakan, putusan yang di ambil oleh Kepala PTUN dinilai tidak Sah. Menurutnya Ketua PTUN saat ini telah menjadi salah satu Tergugat yakni Tergugat 6 dimana wajib mengundurkan diri dari kewenangannya mengadili perkara.
“Dalam hal ini Ketua PTUN tentu secara nyata dan meyakinkan melanggar pasal 17 ayat(5) UU No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan jika Ketua PTUN tidak mengindahkan pasal 17 ayat 5 UU No 48 thn 2009 tentang kekuasaan kehakiman tersebut, maka Ketua PTUN harus dikenakan sanksi administrai dan bahkan pidana,” ungkapnya.
305 K/Sip /1971, maka persoalan hukum tersebut masuk ke Pengadilan PTUN dengan Presiden sebagai Tergugat 1 karena dianggap lalai menjaga intergritas Intitusi dan lembaga Negara berdasarkan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila.
“Sekarang hukum kita sedang diuji, jangan sampai hukum malah kalah dengan penguasa, dan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga Yudikatif. Kami berharap hukum tetap menjadi panglima tertinggi di negeri ini,” tambah Hanry Sulistio.
Penulis: Chintia