Samarinda, Kaltimnow.id – Pada abad ke-20 Samarinda banyak didatangi etnis Tionghoa. Dalam kedatangannya, mereka bertujuan untuk berdagang dengan membuka pertokoan pertokoan yang sangat berdekatan dengan pasar, di sekitar kawasan Straat Te-eng atau yang kini dikenal Jalan Yos Sudarso, Bloem Straat atau Jalan Mulawarman, Jalan Niaga Timur eks Kompleks Pinang Barbaris serta kawasan lainnya.
Selain berdagang, masyarakat Tionghoa pun juga membawa budaya mereka dan memperkenalkannya kepada warga setempat. Jika malam hari tiba di Kampung Pecinan akan terdengar alunan suara Erhu atau biola Tionghoa serta pertunjukan wayang Potehi atau wayang golek khas Cina.
Kedatangan awal etnis Tionghoa ke Kalimantan Timur telah dikonfirmasi sejak masa Aji Batara Agung Dewa Sakti, namun pada abad ke-19 Hindia Belanda yang saat itu menguasai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegar memberikan wilayah kepada etnis Tionghoa sebagai tempat mendirikan pemukiman di sekitaran Hilir Sungai Karang Mumus, Samarinda.
Lokasi Samarinda pada kala itu menjadi pusat bandar Kerajaan Kutai. Dimana Samarinda merupakan tempat titik kumpul para pedagang dari arah Hulu Mahakam dan Hilir Mahakam. Sehingga melihat letaknya yang cukup strategis dari sisi ekonomi, Kampung Pecinan pun menjadi pusat perputaran ekonomi.
Sedangkan untuk masyarakat yang bermukim di sebelah barat dari Kampung Pecinan merasakan kesenangan sosial dan membuat hubungan keduanya sempat tak harmonis. Namun seiring berjalannya waktu, lahirlah sebuah kongsi dagang di masyarakat pribumi. Dengan sebutan Handel-maatschaappij Borneo atau dikenal HBS. Kongsi dagang ini kemudian bermitra baik dengan Organisasi Serikat Islam (SI) dan kemudian mulai tercipta persaingan dagang sehat antara masyarakat pribumi dengan etnis Tionghoa.
Sumber; Dari Jaitan Layar Sampai Tepian Pandan “Sejarah Tujuh Abad Kerajan Kutai Kartanegara” – Muhammad Sarip.